Waspada, Utang Paylater dan Pinjol Melejit Usai Lebaran, Generasi Muda Rentan Terjerat Krisis Finansial

Waspada, Utang Paylater dan Pinjol Melejit Usai Lebaran, Generasi Muda Rentan Terjerat Krisis Finansial

PEKANBARU – Penggunaan layanan pinjaman online (pinjol) dan pembayaran tunda (paylater) melonjak tajam setelah Lebaran 2024. Kondisi ini menunjukkan meningkatnya ketergantungan masyarakat, terutama generasi muda, terhadap layanan keuangan digital yang menawarkan kemudahan namun penuh risiko.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kredit paylater naik 31,45 persen secara tahunan menjadi Rp 6,47 triliun saat Lebaran tahun lalu. Tren tersebut terus berlanjut hingga Januari 2025, dengan pembiayaan paylater meningkat 41,9 persen menjadi Rp 7,12 triliun. Sementara pinjaman fintech peer-to-peer turut mengalami kenaikan 24,16 persen.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Riau, Dr. Gatot Wijayanto, SE, MSi, menilai fenomena ini sebagai cerminan rendahnya literasi keuangan masyarakat, terutama di kalangan milenial dan Gen Z.
“Kemudahan itu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi bisa membantu, tapi di sisi lain bisa menjadi jerat finansial yang berbahaya,” ujarnya, Senin (15/4/2025) malam.

Menurut Gatot, bunga pinjaman online yang sangat tinggi menjadi persoalan serius. Dalam banyak kasus, bunga tahunan bisa melebihi 100 persen, jauh di atas bunga kredit perbankan. Ketika nasabah terlambat membayar, utang dengan cepat membengkak.
“Fenomena snowball effect pada pinjol sangat berbahaya. Utang kecil bisa berubah menjadi beban luar biasa hanya dalam hitungan minggu,” jelasnya.

Layanan paylater pun tak luput dari sorotan. Meskipun dirancang untuk kemudahan transaksi, layanan ini kerap mendorong perilaku konsumtif. Banyak pengguna terjebak dalam pembelian impulsif karena merasa bisa menunda pembayaran.
“Padahal paylater itu tetap utang. Sayangnya, banyak yang lupa atau bahkan mengabaikannya,” tambah Gatot.

Dampak dari penggunaan layanan keuangan digital yang tidak bijak tidak hanya berhenti pada masalah finansial. Gatot mengungkapkan bahwa tekanan utang yang menumpuk bisa memicu stres, kecemasan, hingga depresi.
“Ketika tekanan finansial menumpuk, apalagi dengan intimidasi dari debt collector ilegal, dampaknya ke psikologis bisa sangat serius,” ujarnya.

Read This:  Cara Menghemat Uang bagi Perokok

Ia juga menekankan bahwa keterlambatan pembayaran pinjaman digital akan memengaruhi skor kredit di sistem informasi debitur. Hal ini bisa menjadi penghambat saat masyarakat ingin mengajukan kredit resmi untuk kebutuhan yang lebih penting seperti rumah atau modal usaha.
“Orang mungkin tidak sadar kalau jejak digital keuangan mereka sedang rusak. Tapi ketika butuh kredit untuk rumah atau usaha nanti, baru terasa dampaknya,” tegasnya.

Untuk menghindari jerat utang digital, Gatot menyarankan agar masyarakat meningkatkan literasi keuangan, membuat anggaran bulanan secara ketat, dan menghindari pinjol untuk kebutuhan konsumtif. Ia juga menyarankan penggunaan paylater hanya untuk kebutuhan mendesak serta mempertimbangkan alternatif pembiayaan yang lebih aman seperti koperasi atau kredit bank.

Gatot turut mendorong pemerintah dan OJK untuk memperkuat pengawasan terhadap penyedia pinjol dan paylater, terutama yang tidak terdaftar secara resmi.
“Banyak pinjol ilegal masih beroperasi. Ini jelas mengancam konsumen. Platform juga harus lebih transparan soal bunga dan denda,” tutupnya. ***


Source link